DIA

Hallo!
Selamat datang di blog saya. 
Pada Bulan Januari lalu, saya membuat resolusi tahun 2018 ni, bahwa saya akan memposting sebanyak 12 tulisan selama setahun. Yang artinya, saya harus memiliki satu tulisan minimal dalam satu bulan. In fact, ini sudah bulan Maret dan saya masih menulis satu ini saja. Haha…
Sebenarnya, banyak hal yang berseliweran dibenak saya yang mendesak untuk ditulis, sementara rasa malas terlalu dominan di jari-jari yang saya gunakan untuk mengetik. Lalu saya pikir, coba menulis sesuatu yang ringan saja, sesuatu yang bisa mengalir tanpa memerlukan waktu yang banyak untuk berpikir. Kemudian, Aha! Mengapa saya tidak menulis hal-hal yang terjadi pada diri saya?
Oke, begini. Sudah beberapa bulan ini saya jengah dengan salah satu media sosial favorit saya. Sebut saja Instagram. No, bukan karena aplikasi ini yang tidak bagus, It was totally great, but the problem is I am. 
Jadi, dulu, saya pernah kagum sekali pada seseorang, Dia berprestasi, punya teman-teman yang keren, foto-fotonya bagus.  Awalnya hanya sekedar ingin tahu saya followinstagramnya. Lalu, mulai mengikuti kesehariannya.
Awal-awal follow dia, saya masih dengan kekaguman itu. Ketika dia membagikan kabar terbarunya di Instagram, saya terus mengikuti apa yang dilakukannya, pakaian apa yang hari ini dia pakai, apalagi prestasi yang kembali diraihnya, bahkan seperti apa pasangannya, saya juga ingin tahu. Pokoknya, Instagram itu seperti tidak menarik lagi kalau tidak ada update-an dari dia.
Lama-kelamaan saya semakin maksimal keponya, bahkan mulai membanding-bandingkan diri saya dengannya, bergumam mengapa saya tidak sebahagia dia, tidak beruntung seperti dia, tidak berprestasi lebih baik dari dia. Kemudian saya mulai berkomentar sinis sebagai bentuk defense mechanism. Mengomentari apapun yang dilakukan oleh dia (dalam hati), seperti ketika dia men-share kegiatannya, saya pun berkata dalam hati ‘eh, kegiatan gini aja diupload ya?‘ ‘lah pakaiannya kok gitu ya, padahal biasanya gini?‘ atau ‘oh, ini ya pasangannya, kok…’
Kemudian saya terhenyak. Mengapa saya melihat dia sampai seperti itu? Seolah-olah dialah yang menjadi tolok ukur kebahagiaan saya. Padahal, ketika ia men-sharekehidupannya, kesuksesannya, atau romantisnya pasangannya, hal tersebut tidak ada pengaruhnya untuk kebahagiaan dalam hidup saya. Malahan, saya hanya mendapatkan penyakit iri dalam hati saya.
Pada waktu itu saya sadar bahwa dalam hidup ini, tidak perlu membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Selalu syukuri apapun yg kita punya. Orang lain boleh punya lebih, boleh lebih sukses, namun kebahagiaan itu tidak datang dari banyaknya kelebihan yang dimiliki tapi dari diri yang banyak bersyukur.
Kembali ke permasalahan awal mengenai kejengahan saya pada Instagram. Maybe,  perasaaan itu muncul lagi di diri saya beberapa bulan ini. Yang mulanya ingin tahu, menjadi kepo, kemudian menjurus ke hal-hal yang tidak semestinya.
Saya orangnya agresif, not in verbal or act, tapi di dalam hati yang jadinya malah merusak diri sendiri. Makanya, saya pikir ada saatnya kita break dengan sosial media. Bukan karena kita tidak update atau sebagainya, tapi karena kita butuh ruang untuk menata hati menjadi pribadi yang bersih dari penyakit hati. Wallahualam.

Komentar

Postingan Populer