New Pace
Entah sudah beberapa puluh tahun saya meninggalkan blog ini. Lalu sekarang saya datang lagi menuliskan tulisan teranyar saya. #gaya.
Kemarin sore saya menonton liputan mengenai profil Helvi Tianarosa, salah satu penulis Indonesia. Beliau mengatakan bahwa untuk menjadi seorang penulis, yang diperlukan adalah ketekunan. Mencoba menjadikan menulis sebagai kebiasan dengan melakukannya secara rutin, misalnya sehari satu halaman.
Oke, saya merasa tersentil karena saya telah meninggalkan blog ini selama ribuan tahun, kemudian Fiksi Penggemar saya pun belum lagi ter-update lebih dari sebulan. Rasanya waktu berlalu begitu saja tanpa ada yang saya kerjakan. Sepertinya saya harus kembali mendisiplinkan diri tentang tekad menulis. #sigh.
Ah, sudahlah saya tidak ingin curhat tentang tulisan saya yang tidak kunjung selesai. Saya ingin memberi tahu mengenai kehidupan saya sekarang ini. Setelah lulus kuliah di tahun 2013, saya telah bekerja di salah satu Konsultan Psikologi di Medan. Dan tepat, dua bulan yang lalu saya berhenti dari kantor tersebut setelah bekerja selama setahun. Alasan saya berhenti karena saya telah diterima di BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia).
Setelah mengikuti serangkaian tes, akhirnya saya mendapatkan Surat Keputusan sebagai salah satu CPNS dan ditempatkan di Medan. Menjadi abdi negara sebenarnya bukanlah keinginan saya. Saya hanya mengikuti dan alhamdulillah berhasil lulus. Terkadang, saya harus beberapa kali menyadarkan diri bahwa saya termasuk orang-orang yang beruntung. Banyak orang diluar sana yang berkeinginan kuat menjadi PNS.
Namun, saya ingin jujur bahwa saya belum menemukan diri saya disini. Tepatnya ke dalam sistem birokrasi. Tapi, saya tidak memungkiri bahwa dua per-TKI-an membuat saya sangat tertarik. Bagaimana seorang TKI dapat berurusan dengan banyak instansi untuk meloloskan dirinya bekerja ke luar negeri, terutama TKI yang penempatannya dari PPTKIS. Beberapa kali saya menemukan bahwa TKI merupakan orang ketiga yang tidak tahu apa yang terjadi padanya. Yah, karena semua urusan banyak dikerjakan oleh pihak terkait.
Keterbatasan ilmu dan ekonomi terkadang membuat mereka hanya mampu menerima apa yang telah disiapkan untuk mereka. Mungkin dalam pikiran mereka saat ini adalah bagaimana mereka dapat berangkat ke luar negeri dengan segera.
Saya selalu kagum pada mereka. Tertegun dengan kegigihan yang mereka miliki. Mungkin karena secara tak langsung saya melihat prosesnya, juga karena salah satu sahabat saya seorang TKI. Mendengar bagaimana perjuangannya untuk membangun ekonomi keluarganya membuat saya merasa bangga. Sehingga apabila ada oknum tak bertanggung jawab yang mencoba mencuri kesempatan selalu membuat saya gerah. Karena tujuan dari kebanyakan TKI sangat mulia, yaitu memperbaiki ekonomi keluarga.
Saya masih perlu belajar lagi, karena saya sangat baru di instansi ini. Saya juga perlu waktu untuk membangun passion sebagai abdi negara. Keinginan jangka panjang saya adalah menjadi praktisi psikologi yang dapat membantu para TKI, mulai dari pra, masa, dan purna. Karena yang saya temukan saat ini, kesiapan dan kesehatan psikologis sebagai TKI tidak begitu diperhatikan. Begitu pula untuk TKI purna, mereka perlu diberdayakan agar tidak lagi berniat keluar negeri. Saya rasa cukuplah hanya sekali untuk bekerja sebagai TKI. Mereka perlu mandiri di negeri sendiri.
Apapun itu, seperti yang saya katakan tadi, saya masih sangat perlu belajar, belajar dan belajar. Masih banyak hal yang tidak saya ketahui. Ibarat tanaman, saya masih tunas, terlalu kecil dan membutuhkan banyak siraman untuk kuat. Fighting!
See ya!
credit gambar :
http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/01/ilmu-parenting-solusi-dampak-sosial-pengiriman-tki-ke-luar-negeri-689740.html
Komentar
Posting Komentar